By Google
” Di langit mana pun kini
engkau menatap, di sejuk angin membelai atau badai gurun mengepung. Pada
dinding berlukis keindahan fajar, atau lantai sunyi berpalung mimpi.
Aku ingin merangkai aksara, tentang hari-hari berwajah puisi. Tentang
ketegaran senja, atau keteguhan Sang Angin. Tentang tawa yang berderai,
atau air mata yang jatuh di sudut yang sepi. Tentang hati yang jatuh
pada tatapan sehitam malam, tentang langkahmu yang sesaat singgah pada
kelembutan selendang jingga. Aku ingin membingkai puisi
sekali lagi,… Ini tentang carcinoma dan khemotheraphy …. yang sudah
seenaknya mengajarkan kita menerima garis nasib… ”
Dear Angin,…
Sudah lama jemariku tak menulis tentangmu,
entah berapa kali almanak berganti.
Masih ingat catatanku tentang harapan ?
Tentang kepasrahan yang kau sebut ketegaran,
tentang vonis satu beriringan vonis yang lain,
pernahkah kau berfikir kusimpan dimana air mata dan ketakutan?
Aku membiarkannya terbang,
menggantung pada batas langit dan melayang sejauh aku memandang.
Sesaat saja kubiarkan menyesak di rongga dadaku,
sesaat kubiarkan mengaktifkan kelenjar air mataku,
aku merasakan sakitnya, tepatnya menikmati dan kuterima.
Lalu kubiarkan terbang dan menggantung di angkasa.
Biar Pemilik Semesta yang merengkuh,
yang menyembuhkan dan menawarkan nikmatnya kesakitan.
Dear Angin,…
Aku bukan sahabat yang slalu ada untukmu,
bukan kakak atau adik yang setia diberandamu.
Bukan teman yang slalu ada saat kau butuh bercerita.
Apalagi kekasih dan pujaan hati,
entah apa…
Kamu pun tidak tahu label apa untuk seorang senja,
begitu juga aku, entah apa kamu bagiku,..
dan aku bagimu.
Aku mungkin hanya shiluet,
yang hanya sesaat hadir ketika langit berwarna tembaga,
setelah itu hilang tergantikan malam dan pagi.
Dan kamu angin, yang berhembus kemana kau ingin.