Awal bulan lalu aku kembali menemukan alasan untuk lagi merasa jatuh cinta pada kota ini. Bukan hanya pada setiap lintasan kenangan yang pernah terjadi kala itu. Bukan hanya tentang sebuah kedai dengan lampu-lampu redup menampilkan bayangan teduh yang menatapku dalam. Bukan tentang jalanan bertabur lampu malam yang mengendap dalam ingatan, karena sekeping asa yang berpendar di sana. Bukan hanya tentang cinta tanpa kadaluwarsa, tanpa spasi dan koma. Aku kembali merasa jatuh cinta pada sebuah tempat di mana labirin masa lalu membawa kita melewati waktu seolah kembali ke masa itu, masa di mana para putri dan raja berada di balik tembok istana. Yang bercerita tentang budaya, sejarah juga cinta.
Museum Ullen Sentalu Yogyakarta
" Mak nenk pasti suka, karena banyak puisi indah di sana ... "
Iyaa, benar ... aku jatuh cinta pada cerita romansa seorang putri yang berjuang demi prinsip yang dipegangnya. Jatuh cinta pada kisah putri yang lain yang juga berjuang untuk cintanya. Waktu tidak kunjung mengikis perasaan cinta berbeda kasta tersebut, justru waktu menguatkan dan pada akhirnya mengukuhkan. Cerita salah satu puteri keraton yang terabadikan melalui puisi-puisi dan foto di salah satu museum yang menurutku museum paling cantik yang pernah aku datangi. Museum Ullen Sentalu Sleman Yogyakarta. Museum dengan arsitektur berbentuk labirin yang sangat indah dan kaya akan sejarah dan cerita.
Kisah romansa seorang putri Tineke yang ' patah hati ' hingga memakan waktu dan membuat kerabat dan sahabatnya memberikan penghiburan melalui surat-surat dan puisi. Sebagai seseorang yang menyukai puisi, aku terpesona membaca tulisan-tulisan itu, terasa begitu hidup dan mengikat. Sayangnya dimuseum ini tidak boleh mengambil gambar atau foto, puisi-puisi itu tidak bisa saya simpan dan ingat semua atau diabadikan dalam foto/ kamera. Dan menyimpan gambarnya disini, tapi mungkin demikian harusnya hingga cerita yang berada di dalam museum tetap tersimpan hanya bisa dilihat jika kita mengunjungi museum cantik itu.
Gusti sayang
Kupu tanpa sayap
Tak ada di dunia ini
Mawar tanpa duri
Jarang ada atau boleh dikata tak ada
Persahabatan tanpa cacat
Juga jarang terjadi
Tetapi cinta tanpa kepercayaan
Adalah suatu bualan terbesar di dunia ini
Puisi yang tertulis puluhan tahun lalu itu, mengabadi dan terasa universal karena masih relevan hingga saat ini. Cinta selalu sama ternyata, entah dulu ratusan tahun lalu hingga kini di jaman semua serba instan. Cinta masih menjadi topik yang tak terpecahkan hingga kini. Cinta masih merasuk sebegitu dalam ke dalam kisi-kisi rongga jiwa manusia. Masih mengajarkan tentang banyak rasa, dan menghadirkan banyak cerita. Cinta selalu menjadi alasan laju gerak kehidupan ini.
Menyusuri museum ini seperti berjalan dalam kenangan, kisah para pangeran dan putri yang hidup di masa lalu di balik tembok keraton. Museum ini seolah mengajarkan tentang kehidupan slalu berjalan, semua yang terjadi pada akhirnya akan terlewati. Semua yang hidup akan mati, semua kerumitan akan menemukan jalan keluar. Semua akan menjadi sejarah dan sejatinya menjadi pelajaran berharga.
Jogja,... kelak aku akan kembali, menjemput cerita yang berbeda. Tentang keindahan langit senja di pantainya atau perjalanan mendebarkan bertemu merapi. Entah...semoga :)
Museum Ullen Sentalu
Jalan Boyong KM 25 Kaliurang
Sleman, Yogyakarta
Puisinya indah mak, tempatnyajuga indah
ReplyDelete"Tetapi cinta tanpa kepercayaan adalah suatu bualan terbesar di dunia ini"😍 😍 😍 :)
ReplyDeletejadi kangen Yogya,,,
ReplyDeleteKalo kupu2 tanpa sayap mah almarhum yaa mak hehehehe
ReplyDeleteAhhh, Jogja selalu ngangeniiiin :)
ReplyDelete--bukanbocahbiasa(dot)com--
tempat yang menyenangkan
ReplyDeletekesan yang sangat unik
ReplyDeleteteduhnyaaa.... asri
ReplyDeletebanyak pohon
Museum yg menceritakan Kerajaan Mataram... sampai puisi2 indah karya Almh Ibu RA Gusti Nurul....
ReplyDeletePenjelasan dr Tour Leader sangat lengkap..... Menyenangkan....
Sayang ya... Tak boleh direkam..... Semoga sejarah Mataram yg lengkap dijelaskan oleh Pemandu di museum Ullen Sentalu sdh dibukukan....
Apakah puisi karya Ibu RA Gusti Nurul pernah dibukukan?